Jombang, JurnalData.id – Adanya tukang becak puluhan tahun tak tersentuh Bantuan Sosial (Bansos) di Desa Johowinong, Kecamatan Mojoagung, Pemerintah Desa (Pemdes) setempat sebut yang bersangkutan tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Tekait DTKS, Pak Ahmadi memang kayaknya belum masuk DTKS,” ungkap Karmanto, Sekretaris Desa (Sekdes) Johowinong saat dikonfirmasi diruangannya, Rabu (3/7/2024).
Meski demikian, pihaknya berjanji akan mengupayakan untuk mendaftarkan di DTKS dengan melengkapi beberapa persyaratan.
“Akan didaftarkan oleh Kaur Kesra. Langkah desa ini didaftarkan dulu ke DTKS terus dari warga diminta membawa fotokopi KK, KTP dan foto rumah, kami bantu,” terangnya.
Pantuan media ini dilokasi, nampak keluarga Ahmadi mendatangi kantor desa untuk melengkapi beberapa berkas untuk memperoleh fasilitas kesehatan dari pemerintah berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS). Diusianya yang senja dengan keseharian menarik becak ia butuh fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk berobat gratis.
“Kedatangan keluarga Pak Ahmadi datang kesini ingin mengajukan bantuan berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS),” kata Karmanto.
Sekdes Johowinong mengaku jika sebelumnya isteri Ahmadi pernah mendapat bantuan beras, namun hanya dua kali.
“Pak Ahmadi ini jarang dirumah, saya konfirmasi ke Kepala Dusunnya katanya sudah pernah dapat bantuan namun melalui nama Bu Kemini selaku isteri Pak Ahmadi, pernah dapat bantuan beras dua kali,” ucap Karmanto.
Selain didaftarkan DTKS, Pemdes Johowinongan berjanji akan mengupayakan keluarga Ahmadi untuk mendapat Program Keluarga Harapan (PKH) lansia.
“Nanti juga kami ajukan PKH lansia,” pungkasnya.
Sementara, Hamidah Pendamping PKH desa setempat mengatakan, segala usulan berawal dari Pemerintah Desa (Pemdes), karena menurutnya pihak desa lebih faham warga yang layak atau tidak layak mendapat bantuan.
“Untuk usulan kita kembalikan ke desa, karena yang tau warganya kan desa,” terang Hamidah.
Meski begitu, dia menyebut usulan dari desa akan ada penilaian kriteria dari Dinas Sosial Kabupaten Jombang.
“Nanti ada penilaian, ada proses-prosesnya kan, kita ikuti prosesnya, yang bisa menilai dari pusat dinas sosial,” jelas dia.
Disinggung peran pendamping PKH, pihaknya menjelaskan bahwa ia mempunyai peran pendampingan dalam Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) dan pemutaakhiran data saja.
“Saya disini pendampingan, seperti P2K2 seperti itu terus kalau ada pemutaakhiran data,” ujarnya.
Hamidah mengaku, ia ditugaskan menjadi pendampung PKH di Desa Johowinong belum genap satu bulan, pihaknya berjanji akan melakukan beberapa evaluasi seperti lebih melakukan koordinasi dengan desa bahkan membuka ruang siapapun yang layak untuk mengajukan program bantuan sosial.
“Kedepan kita lebih ke masyarakat lebih terbuka terkait bantuan yang belum dapat bisa kita koordinasikan dengan desa,” ucapnya.
“Kami membuka ruang siapapun monggo silahkan dengan bantuan PKH,” lanjutnya.
Dia menandaskan, di Desa Johowinongan tercatat sedikitnya ada 165 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang mendapat PKH.
“PKH di desa ini sekitar 165 keluarga kalau diluar PKH saya kurang tahu dan kami menganggap itu semua layak sesuai kriteria,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, cerita menyayat hati dialami oleh Ahmadi (67) warga RT 11, RW 3 Dusun Johowinong, Desa Johowinong, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Bagaimana tidak, puluhan tahun berprofesi sebagai tukang becak, Ia mengaku tak sedikitpun merasakan bantuan sosial dari pemerintah setempat.
Kisah pilu yang dialami Ahmadi sebenarnya tak membuatnya patah semangat dalam keseharian menarik becak untuk mencari rizeki.
“Kantok nopo, kulo mboten angsal (dapat apa, saya tidak dapat),” ucap Ahmadi kepada wartawan, Selasa (2/7/2024).
Program kesejahteraan sosial dari pemerintah pusat berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan, Bantuan Langsung Tunai (BLT) termasuk juga Kartu Indonesia Sehat (KIS), tak pernah menyentuh Ahmadi.
Bahkan, pria lansia ini sempat berfikir apa yang menjadikan dia tak mendapat hak yang sepatutnya ia terima.
“Sampek mikir, kenapa kok gak dapat bantuan kayak orang-orang lain,” ungkapnya.
Dia mengaku, saat ada beberapa kali bantuan turun yang dapat hanya kalangan tertentu saja yang cenderung dekat dengan perangkat desa. Termasuk beberapa warga yang memiliki sawah maupun kalangan yang memiliki usaha.
“Kelihatannya tidak rata, dekat dengan perangkat dapat, punya sawah dapat, kalau kita ini apa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Ahmadi tinggal satu rumah bersama enam orang anggota keluarga. Selain dirinya sebagai Kepala Keluarga (KK), satu anak yang sudah berumah tangga turut tinggal bersamanya.
Selain dia, anaknyapun juga tidak pernah tersentuh bantuan pemerintah.
“Satu rumah, enam orang, dua KK, anak saya juga tidak dapat bantuan,” terangnya.
Suatu ketika, istrinya pernah menanyakan kepada perangkat desa setempat, kenapa tidak mendapat bantuan sosial, tapi perangkat tersebut hanya menjawab semua itu kebijakan pusat.
Dalih semua kebijakan dari pusat seakan membuat masyarakat kecil semakin bingung tak tahu lagi harus mengadu kemana.
“Wong dukuran (orang atas),” katanya.
Anak Ahmadi yang bernama Lailatul Fitria (32) membenarkan jika sang bapak belum pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Miris, jika waktu para tetangga menerima bantuan, bapak dan ibu hanya bisa melihat.
Laila mengatakan jika bapaknya sudah sering sakit, namun karena dituntut kebutuhan sehari-hari, meskipun sakit ia tetap menarik becak untuk mengais pundi-pundi rupiah.
“Siapa yang tidak mau dapat bantuan, pasti ingin dapat, apalagi bapak yang kerap mengeluhkan sakit karena sampai detik ini masih narik becak,” tandasnya.
Comment